Dalam menghadirkan riwayat-riwayat tersebut, beliau sering kali tidak mensahihkan maupun mendaifkan riwayat yang beliau kutip. Inilah yang menjadi kelemahan tafsir ini karena dengan itu beliau terlihat seperti melepas tangung jawab. Meskipun terkadang beliau juga memberikan kritik terhadap riwayat-riwayat yang dimunculkan dengan menjarah ta’dilkan para perawi dalam riwayat tersebut. Contoh ketika beliau menerangkan ayat ke 94 dari surah al-Kahfi قالُوا يا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجاً عَلى أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا(94
Dalam menerangkan kata سد (dinding penghalang), beliau menampilkan sebuah riwayat yang menerangkan bahwa kata ini bisa dibaca sudda dengan harokat dlommah pada س yang artinya terbatas pada buatan/ciptaan Allah dan sadda dengan harakat fathah yang artinya khusus pada buatan manusia. Setelah menampilkan riwayat ini beliau memberikan kritik bahwa dalam rangkaian perawi dalam riwayat ini ada seorang yang bernama Harun yang beliau anggap tidak tsiqah. Beliau memberikan otoritas yang tinggi terhadap hasil ijma’ ulama yang berkaitan dengan tafsir suatu ayat. Contoh pada tafsir surah al-Baqarah ayat 230 فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ Ayat ini menerangkan tentang bagaimana cara rujuknya seorang suami yang telah mentalak istrinya tiga kali. Secara tekstual syarat yang bisa membolehkan pasangan yang sudah talak tiga kali ialah istri harus menikah lagi dengan orang lain dan setelah talak barulah ia bisa menikah dengan suami yang pertama. Nah, perbedaan penafsiran muncul dalam memahami kata nikah di ayat ini. Apakah nikah disini hanyalah akad ataukah harus terjadi hubungan suami istri? Ada pendapat yang mengatakan kata nikah disini maknanya ialah akad nikah plus terjadi jima’. Artinya jika istri tadi melakukan akad nikah kemudian talak sebelum jima’ atau jima’ tanpa akad nikah (berzina) maka ia dianggap belum memenuhi syarat untuk bisa rujuk kepada suami pertama. Kalau ada yang berargumen “bagaimana bisa jima’ menjadi syarat sedangkan dalam teksnya ia tidak disebutkan?” maka jawabnya (menurut al-Thabary) karena begitulah Ijma’ mengatakan. Salah satu ciri khas lainnya dari tafsir ini ialah ketika beliau sampai pada perdebatan tafsir mengenai hal yang dalam pandangan beliau kurang bermanfaat ataupun tidak menjadi persoalan andai hal tersebut tidak diketahui, maka beliau akan cenderung mempersingkat penjelasannya. Contoh ketika pembahasan ayat ke 112 dari surah al-Maidah. Artinya (Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa berkata: “Hai Isa putera Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?”. Isa menjawab: “Bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman”. Ada perbedaan pendapat mengenai makanan/hidangan apakah yang dimaksud dalam ayat ini. Setelah beliau menyebutkan berbagai macam riwayat tentang hal ini, kemudian beliau berkomentar “yang pasti benar ialah bahwa hidangan tersebut bisa dimakan, bisa berupa ikan atau susu ataupun buah dari surga. Mengetahui hal ini tidaklah begitu bermanfaat dan tidak mengetahuinya pun tidak madlarot meskipun ayat setelahnya menjelaskan mengenai hal ini”. Di samping itu semua, beliau juga menyebutkan berbagai macam kisah israiliyat dan macam-macam Qira’at. Untuk penjelasan yang lebih lengkap, dapat dirujuk di kitab al-Tafsir wal Mufassirun karya Imam Husan al-Dzahabi juz pertama. Wallahu a’lam bis shawab (Penulis adalah santri, pembelajar tafsir dan tutor bahasa Inggris)[learn_press_profile]
Leave a Reply to M. Dim Cancel reply