Category: Artikel Mahasiswa

Kumpulan tulisan mahasiswa IIQ An Nur Yogyakarta

  • Hikmah di Balik Paguyuban Yasinan Dusun Grudo

    Hikmah di Balik Paguyuban Yasinan Dusun Grudo

    Oleh: Muhamad Jamaludin (Mahasiswa IIQ An Nur Yogyakarta)

    Mahasiswa IIQ An Nur Yogyakarta angkatan ke 16 mulai bulan Februari hingga April 2020 mendatang diterjunkan ke desa Panjangrejo, Pundong, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam agenda Kuliah Kerja Nyata (KKN). Penulis mendapatkan kesempatan belajar bermasyarakat bertepatan di Dusun Grudo, Panjangrejo. KKN ini merupakan salah satu ajang pengabdian kecil  mahasiswa kepada masyarakat.

    Dusun Grudo memiliki  empat wilayah RT yang terdiri hampir 200 kepala keluarga di dalamnya. Di sini masyarakat memiliki banyak variasi keagamaan yang sudah rutin dilaksanakan seperti mujahadah pada malam Senin untuk kalangan bapak-bapak, mujahadah pada malam Rabu untuk kalangan ibu-ibu, pengajian Sabtu legi untuk semua kalangan dalam rangka mendoakan para korban bencana gempa Yogyakarta 2006 silam, paguyuban Yasinan keliling pada malam Jum’at, dan masih banyak kegiatan keagamaan lainnya.

    Sahabatku, pada paguyuban Yasinan ini penulis tersenyum kala mendengarkan pernyataan ketua RT 02 yang sangat rinci menjelaskan bahwa tradisi ini merupakan salah satu warisan terdahulu sejak 40 tahun lamanya. Paguyuban Yasinan ini bukan hanya untuk kumpul-kumpul semata yang kemudian membicarakan berbagai persoalan di masyarakat dusun Grudo. Tradisi ini sangat moderat karena melihat beberapa pertimbangan yang ada, seperti penulis bertanya pada salah satu warga yang mengikuti paguyuban ini, beliau mbah Yusuf yang saat ini sudah berumur hampir 70 tahun.

    “Mengapa yasinan ini tidak dilaksanakan di masjid saja?” Tanya penulis. “Ya karena tidak semua warga bisa pergi ke masjid, mas. Warga di sini rata-rata sebagai petani yang kadang waktunya digunakan untuk beristirahat di rumah, namun kalau diundang personal hadir di rumah yang mendapat gilirannya mesti akan hadir.” Jawab  beliau.

    Jawaban tersebut mensimbolkan bahwa tempat dilaksanakan paguyuban ini merupakan salah satu bentuk pemikiran yang sangat moderat di masyarakat Grudo. Hal ini karena untuk menyesuaikan minat  masyarakat untuk selalu berdzikir dan memuji Allah SWT tidak mesti dipaksakan di masjid. Hal ini sangat toleran sekali karena yang ditonjolkan di sini adalah substansi dari memuji Allah-nya, hanya saja teknisnya dibuat lebih merakyat dan membuat masyarakat sangat nyaman.

    Paguyuban Yasinan bukan hanya majlis dzikir dan majlis doa saja. Di paguyuban ini masyarakat pun sangat asyik membicarakan banyak persoalan kehidupannya. Satu hal yang sangat khas di sini adalah adanya pembacaan iuran masyarakat (baca: arisan) untuk pembeliaan hewan qurban setiap tahunnya. Ini merupakan bentuk komitmen yang luar biasa di masyarakat, maka tidak mengherankan jika ketua RT 02 menegaskan bahwa ini merupakan ajang memajukan kemandirian umat di Dusun Grudo.

    Sahabatku, hikmah yang dapat kita ambil dari paguyuban Yasinan malam Jum’at ini adalah bagaimana kita bersikap moderat dalam mengenalkan syariat Islam kepada masyarakat sekitar. Dalam konteks ukhuwah, ini merupakan ajang penguatan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah Wathoniyah, serta ukhuwah Basyariyah agar selalu saling menghargai sesama dan tidak saling menghujat sesama hingga menimbulkan pola pikir yang radikal.

    Tulisan sederhana ini merupakan bentuk celotehan untuk sama-sama kita merenung dan membuka kembali pemikiran kita agar melihat beberapa fenomena dari berbagai segi. Paguyuban Yasinan ini salah satu contoh nyata bahwa fenomena di masyarakat jika dilihat dari beberapa segi akan memiliki banyak arti dan kemaslahatan dan kemajuan sesama umat. Mari sama-sama kita junjung tradisi seperti ini dan selalu mengedepankan nilai-nilai toleransi sesama kita baik dalam menjalankan tradisi beragama apalagi berbeda agama.

    Wallahualam.

  • Sukses Mendidik Anak Ala Qur’ani

    Sukses Mendidik Anak Ala Qur’ani

    Mendidik anak bukan perkara yang mudah bagi orang tua, terlebih di zaman milineal ini tantangan jauh semakin besar dan pola pemahaman anak jauh lebih berkembang. Alquran selalu menjawab berbagai problematika yang tersaji di setiap masanya. Dewasa ini berbagai budaya sudah bercampur dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dicerna oleh anak yang dapat diakses dengan mudah melalui berbagai macam media, lalu mengapa harus Qurani?

    Alquran menjadi sumber nilai atau informasi, serta motivasi di dalam mengahadapi satu fenomena di sekitar kita. Alquran yang memiliki jargon Shohih li kulli zaman wal makan artinya dapat dijadikan pedoman di setiap saat dan di manapun ia berada. Umat muslim tidak akan bisa terlepas dari Alqurannya, karena ini merupakan salah satu pondasi keimanan yang wajib ditanamkan dalam hati dan diimplementasikan di dalam kehidupannya.

    Kontrak logis terhadap pandangan ontologis mengenai anak ini sudah mulai bergeser dari hakikatnya, karena di era saat ini anak cenderung dieksploitasi dengan aset ekonomi. Sebagai contoh, banyak orang tua yang beranggapan bahwa ketika ia memiliki anak maka akan tercermin di benaknya untuk mendorong anaknya agar bisa berkerja dan sukses sehingga bisa keluar dari zona kehidupannya yang sempit. Selain itu, ada juga yang beranggapan bahwa anak merupakan tentara Allah untuk berjuang di jalan Allah ‘Jihad fi sabilillah’ berdasarkan pemahamannya, padahal hakikatnya anak memiliki eksistensi yang jauh dari anggapan sebagaimana yang disebutkan di atas.

    Menurut Abdul Mustaqim, (2019:26) beliau menjelaskan bahwa ada lima dasar pandangan Alquran terhadap anak. Pertama, anak sebagai wahbah. Artinya anak dipahami sebagai anugerah pemberian dari Allah SWT. Sebagaimana keturunan yang diberikan oleh Allah terhadap Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, dan Nabi Ya’qub merupakan keturunan yang luar biasa sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Anbiya ayat 72.

    Kedua, anak sebagai amanah. Artinya, anak merupakan titipan Allah SWT untuk dijaga dan diperlakukan dengan baik. Selain itu, anak juga harus diarahkan dengan baik agar menjadi generasi yang lebih baik. Sebagaimana dengan firman Allah dalam surat al-Anfal ayat 27.  Ketiga, anak sebagai zinah. Artinya anak dapat dipahami sebagai perhiasan yang menyenangkan hati dan menyejukkan mata (Qurrota ‘ayun). Hal ini berdasarkan ayat Alquran surat al-Imran ayat 14.

    Keempat, anak sebagai fitnah, Allah berfirman dalam surat at-Taghabun ayat 15 “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”. Ayat ini mejelaskan jika kita menyia-nyiakan anak yang diberikan kepada kita sebagai amanah atau karunia maka akan menjadi fitnah buat kita.

    Kelima, anak kebagai aduww. Artinya, konsep ini menempatkan eksistensi anak sebagai musuh bagi orang tua sebagaimana firman Allah dalam surat at-Taghabun ayat 14. Anak dapat menjadi musuh bagi orang tuanya ketika ia berbuat kerusakan dan memperbanyak maksiat kepada Allah SWT. Bentuk kemaksiatan yang dikerjakan oleh anak akan menjadi bumerang untuk kedua orang tuanya. Baik mendatangkan kesengsaraan orang tua di dunia maupun kemaslahatan di akhirat kelak.

    Penjabaran tentang eksistensi anak menurut sudut pandangan Alquran, memberikan pelajaran bagi kita bagaimana kurikulum yang harus dipakai oleh orang tua untuk membentuk eksistensi anak agar menjadi potensi yang berkualitas, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Dari pemaparan di atas, harusnya kita bisa mengarahkan semua kemampuan kita untuk mendidik anak agar ia menjadi sosok yang berkualitas. Hal ini tentu harus dengan tekad dan usaha, serta kesabaran yang berkualitas.

    Penjabaran di atas dirasa sangat lengkap untuk membentuk pribadi anak berdasarkan kacamata Qurani. Dengan maksud agar kita dapat paham untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi anak. Terlebih untuk yang belum memiliki anak dapat lebih mempersiapkan diri menghadapi kondisi ini. Karena sejatinya Alquran telah menginformasikan 15 abad lalu tentang cara yang harus dimiliki oleh orang tua untuk menjadikan anak sebagaimana mestinya sesuai dengan hakikat anak. (Muhamad Jamaludin/LPM)

    Artikel ini disarikan dari Seminar Parenting dan Bedah Buku Qur’anic Parenting: Kiat Sukses Mendidik Anak Cara Alquran yang disampaikan oleh Dr. H. Abdul Mustaqim, MA. (Penulis Buku dan Pakar Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dan Shinta, S.Pd, M.Si., MA. (Pakar Parenting dan Owner Bunda Cinta Parenting Center Yogyakarta). Seminar dilaksanakan di Auditorium IIQ Annur Yogyakarta pada 26 Agustus 2019.

  • Sekilas tentang Tafsir al-Thabari

    Sekilas tentang Tafsir al-Thabari

    oleh: Moch Dimas Maulana Nama aslinya adalah Abu Ja’far, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Thabary dikenal dengan Ibnu Jarir al-Thabary. Seorang ulama’ besar yang memiliki banyak karya yang masyhur, diantaranya tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Beliau dilahirkan di kota Amul, Tabaristan, Iran pada tahun 224 H atau 839 masehi dan mulai melakukan perjalanan menuntut ilmu ke luar daerahnya pada umur 12 tahun. Belajar di berbagai daerah di luar Iran namun pada akhirnya menetap di Baghdad hingga wafatnya pada tahun 310 H. Beliau salah satu ulama’ yang paling masyhur pada zamannya. Pendapat-pendapatnya menjadi rujukan, beliau juga seorang hafizh Qur’an bahkan sangat faham dengan makna-makna yang dikandungnya. Sunnah nabi beliau kuasai, baik yang shahih maupun tidak. Dan yang menjadi kelebihannya, beliau paham betul dengan pendapat-pendapat sahabat, tabi’in dan generasi selanjutnya. Menurut Abu al-Abbas “Muhammad Ibnu Jarir itu adalah seorang yang faqih”. Selain kitab tafsir Jami’ al Bayan, beberapa karya beliau yang tak kalah masyhurnya ialah: Tarikh al-Umam wa al-Muluk yang menjadi rujukan utama kitab sejarah raja-raja Arab, kitab al-Qiraat, al-Adad wa al-Tanzil, kitab Ikhtilaf al-Ulama’, Tarikh al-Rijal min al-Sahabat wa al-Tabiin, kitab Ahkam Syara’ii al-Islam dan masih banyak lagi yang lainnya yang menunjukkan keluasan ilmunya. Namun kitab-kitab tersebut tidak terlalu masyhur atau tidak sampai ke kita kecuali kitab Tafsir dan Tarikhnya. Imam al-Suyuti dalam kitab Thabaqat al-Mufassirin  berkata “Beliau (Al-Thabari) awal mulanya seorang pengikut madzhab Syafi’i kemudian membentuk madzhab sendiri dengan pendapat-pendapatnya, dan beliau mempunyai banyak pengikut, dan dalam hal Ushul maupun Furu’ beliau memiliki banyak karya kitab. Konon, tafsir al-Thabary ini sempat hampir hilang dari peredaran namun dengan izin Allah naskah lengkapnya pada akhirnya ditemukan dalam penguasaan seorang mantan amir Najed yaitu amir Hamud bin amir Abdu al-Rasyid dan kemudian di salin untuk diterbitkan sehingga bisa sampai pada tangan kita sekarang. Adapun metode penafsiran yang digunakan dalam kitab ini ialah Tahlili, yaitu menafsirkan ayat demi ayat secara mendetil dari al-Fatihah hinggan an-Nas. Sedangkan dari cara penafsirannya, ia termasuk dalam kategori tafsir bi al-Ma’tsur, menafsirkan al-Qur’an dengan Qur’an, atau dengan hadist Rasul, atau keterangan-keterangan dari para sahabat dan juga tabi’in. Hal ini terlihat sekali di dalam kitab at-Thabari yang menghadirkan banyak riwayat dari hadis maupun atsar para sahabat dan tabi’in dalam menafsirkan sebuah ayat. Sebelum memulai penafsirannya, merupakan ciri khas imam at-Thabary berkata القول فى تفسير السورة كذاوكذا dan القول فى تأويل كذاوكذا kemudian dikuatkan dengan riwayat-riwayat yang disandarkan kepada para sahabat, Tabi’in. Apabila ada dua pendapat atau lebih mengenai suatu ayat, beliau akan menguraikannya satu per satu dan didukung dengn riwayat-riwayat yang berkenaan dengannya dari para Sahabat dan Tabi’in. At-Thabary sangat menentang keras para penafsir yang hanya menggunakan akalnya saja atau murni pemahaman bahasa tanpa berpegang pada riwayat para sahabat maupun tabi’in.

    Dalam menghadirkan riwayat-riwayat tersebut, beliau sering kali tidak mensahihkan maupun mendaifkan riwayat yang beliau kutip. Inilah yang menjadi kelemahan tafsir ini karena dengan itu beliau terlihat seperti melepas tangung jawab. Meskipun terkadang beliau juga memberikan kritik terhadap riwayat-riwayat yang dimunculkan dengan menjarah ta’dilkan para perawi dalam riwayat tersebut. Contoh ketika beliau menerangkan ayat ke 94 dari surah al-Kahfi قالُوا يا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجاً عَلى أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا(94

    Dalam menerangkan kata  سد (dinding penghalang), beliau menampilkan sebuah riwayat yang menerangkan bahwa kata ini bisa dibaca sudda dengan harokat dlommah pada س yang artinya terbatas pada buatan/ciptaan Allah dan sadda dengan harakat fathah yang artinya khusus pada buatan manusia. Setelah menampilkan riwayat ini beliau memberikan kritik bahwa dalam rangkaian perawi dalam riwayat ini ada seorang yang bernama Harun yang beliau anggap tidak tsiqah. Beliau memberikan otoritas yang tinggi terhadap hasil ijma’ ulama yang berkaitan dengan tafsir suatu ayat. Contoh pada tafsir surah al-Baqarah ayat 230 فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ Ayat ini menerangkan tentang bagaimana cara rujuknya seorang suami yang telah mentalak istrinya tiga kali. Secara tekstual syarat yang bisa membolehkan pasangan yang sudah talak tiga kali ialah istri harus menikah lagi dengan orang lain dan setelah talak barulah ia bisa menikah dengan suami yang pertama. Nah, perbedaan penafsiran muncul dalam memahami kata nikah di ayat ini. Apakah nikah disini hanyalah akad ataukah harus terjadi hubungan suami istri? Ada pendapat yang mengatakan kata nikah disini maknanya ialah akad nikah plus terjadi jima’. Artinya jika istri tadi melakukan akad nikah kemudian talak sebelum jima’ atau jima’ tanpa akad nikah (berzina) maka ia dianggap belum memenuhi syarat untuk bisa rujuk kepada suami pertama. Kalau ada yang berargumen “bagaimana bisa jima’ menjadi syarat sedangkan dalam teksnya ia tidak disebutkan?” maka jawabnya (menurut al-Thabary) karena begitulah Ijma’ mengatakan. Salah satu ciri khas lainnya dari tafsir ini ialah ketika beliau sampai pada perdebatan tafsir mengenai hal yang dalam pandangan beliau kurang bermanfaat ataupun tidak menjadi persoalan andai hal tersebut tidak diketahui, maka beliau akan cenderung mempersingkat penjelasannya. Contoh ketika pembahasan ayat ke 112 dari surah al-Maidah. Artinya (Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa berkata: “Hai Isa putera Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?”. Isa menjawab: “Bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman”. Ada perbedaan pendapat mengenai makanan/hidangan apakah yang dimaksud dalam ayat ini. Setelah beliau menyebutkan berbagai macam riwayat tentang hal ini, kemudian beliau berkomentar “yang pasti benar ialah bahwa hidangan tersebut bisa dimakan, bisa berupa ikan atau susu ataupun buah dari surga. Mengetahui hal ini tidaklah begitu bermanfaat dan tidak mengetahuinya pun tidak madlarot meskipun ayat setelahnya menjelaskan mengenai hal ini”. Di samping itu semua, beliau juga menyebutkan berbagai macam kisah israiliyat dan macam-macam Qira’at. Untuk penjelasan yang lebih lengkap, dapat dirujuk di kitab al-Tafsir wal Mufassirun karya Imam Husan al-Dzahabi juz pertama. Wallahu a’lam bis shawab (Penulis adalah santri, pembelajar tafsir dan tutor bahasa Inggris)

    [learn_press_profile]

  • Tiga Pilar Pendidikan

    Tiga Pilar Pendidikan

    Oleh Ahmad Sangidu

    Pendidikan merupakan sebuah pembelajaran tentang pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan. Pendidikan seperti memberikan warisan dari generasi ke generasi selanjutnya. Proses pendidikan yang dilakukan pada dasarnya dengan bimbingan orang lain. Akan tetapi saat ini banyak pula yang lebih suka menggunakan cara otodidak.  Hal ini disebabkan dengan memanfaatkan teknologi yang semakin canggih. Sehingga pendidikan bisa dilakukan kapan dan dimana saja.

    Pendidikan menjadi kebutuhan primer bagi setiap orang. Upaya peningkatan mutu pendidikan terus dilakukan. Memang pendidikan dapat diterima seseorang tanpa adanya bimbingan orang lain. Namun tidak sedikit dari mereka yang di luar sana, masih tidak menerima pendidikan secara wajar.

    Banyak pula mereka yang putus sekolah beralasan tidak bisa melanjutkan pendidikan karena tidak punya biaya. Akhirnya, banyak orang yang tidak bisa meraih cita-citanya karena tidak menerima pendidikan. Peristiwa dan kejadian ini cukup memprihatinkan.

    Oleh karenanya, terdapat tiga hal yang menentukan pendidikan.

    Pertama, orang tua yang pada dasarnya terdiri dari ayah dan ibu. Namun banyak pula yang saat lahir langsung ditinggal keduanya. Memang orang tua bukanlah hanya mereka yang melahirkannya dan membesarkannya. Bahkan guru bisa dianggap sebagai orang tua kedua, setelah orang tua kandungnya.

    Pendidikan pertama seseorang diterima dari orang tuanya. Juga banyak orang tua yang memberikan pendidikan kepada anaknya saat anak masih dalam kandungan. Mereka juga yang nantinya akan mengarahkan anaknya. Membimbing setiap hari tanpa bosan.

    Orang tua selalu mempunyai harapan bahwa anaknya nanti menjadi lebih hebat dari mereka. Kondisi fisiologis dan biologis orang tua juga berpengaruh dalam pendidikan anak. Misalnya orang tua yang cacat. Jika anak tidak memiliki semangat juang tinggi dalam mencari ilmu, mungkin ia telah memilih bekerja mencari uang demi menghidupi keluarganya.

    Kedua, pendidik atau guru. Inilah faktor yang paling mempengaruhi pendidikan. Guru atau pendidik ialah pengajar suatu ilmu. Tugas yang dimiliki antara lain adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi anak didiknya.

    Setiap tahun guru harus mengenal wajah dan sikap baru dari anak didiknya. Peranan penting yang dimiliki guru merupakan tolok ukur pendidikan seseorang selanjutnya. Guru selalu memberikan semua ilmu yang dimilikinya tanpa pamrih. Bahkan sampai sekarang gaji guru lebih rendah dari pada gaji dokter. Namun demikian, guru tidak unjuk rasa. Bahkan guru berusaha agar anak didiknya lebih baik darinya, mengantarkannya menuju gerbang kesuksesan.

    Ketiga, pemerintah atau penguasa. Pemerintah juga andil dalam menentukan pendidikan. Pemerintah disini maksudnya organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan kebijakan serta aturan pada wilayah tertentu. Bukan sekedar aparat negara. Seperti dalam lingkup kecil, adanya kepala sekolah beserta staf-stafnya.

    Mereka mempunyai wewenang mengelola lingkungan sekolah menjadi lingkungan belajar yang menyenangkan. Misalnya juga dalam lingkup yang lebih besar, adanya Mendikbud (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan). Kemudian muncul ide membuat kurikulum baru dengan menyesuaikan kondisi dan situasi msyarakat setempat. Sampai saat ini kurikulum di Indonesia mengalami banyak perubahan. Kurikulum sendiri merupakan alat untuk menggapai keberhasilan pendidikan.

    Pendidikan merupakan tiket untuk menuju masa depan. Pendidikan tidak akan berhasil tanpa tiga pilar itu. Orang tua merupakan pendamping hidup bagi anaknya. Guru menjadi motivator bagi anak untuk memperoleh masa depan yang gemilang. Pemerintah menemani keduanya dalam mendorong anak menjadi generasi terbaik selanjutnya. Seharusnya tiga pilar itu bersatu, berkolaborasi meraih pendidikan Indonesia yang lebih baik. Sehingga Indonesia akan menduduki kursi kejayaannya.

     

  • I’m Muslim But I’m Not Terrorist

    I’m Muslim But I’m Not Terrorist

    Oleh: Muhammad Jamaludin

    Allah menciptakan manusia dari berbagai keberagaman suku, bangsa, ras, dan agama. Perbedaan itu merupakan sebuah rahmat yang diajarkan oleh agama Islam. Dengan adanya perbedaan ini manusia sepakat atas nama kemanusiaan untuk menjunjung tinggi perbedaan dengan toleransi dan humanisme. kita teringkat ketika kasus 212 kala itu yang menjadi titik temu pada surat al-maidah ayat 51 terkait penistaan agama.

    Ketika kita mengkaji teori ternyata jauh 14 abad silam ketika ayat ini turun dilatar belakangi oleh sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Abdulah bin Ubay dan Ubadah bin tsamit yang melakukan perjanjian oleh Yahudi bani Qauniqa tetapi kaum Yahudi melakukan pelanggaran perjanjian dan berbalik memerangi Rasulullah SAW. Maka Ubadah bin Tsamit melepaskan diri dari perjanjiannya dan melakukan perlawanan membela Rasulullah dan turunlah ayat ini (Lihat Asbabun Nuzul Imam As-Suyuti, Tahqiq : Syaikh Hafiz Syi’isya halaman 231-232).

    Dari kasus diatas kita bisa ambil sedikit pelajaran bahwa Agama Islam selalu menjunjung tinggi persaudaran dan menghargai sebuah perjanjian yang telah dibuat bahkan sesama umat antar agama sekalipun. Sejarah mencatat semua peperangan yang dilakukan oleh Islam bukan semata untuk menguasai kaum lainnya, malainkan satu pembelaan betapa besar harga nyawa seseorang atau nilai humanisme.

    Bom surabaya yang di ledakan terjadi di tiga gereja di Surabaya, yaitu Gereja Maria Tak Tercela di Jalan Ngagel Madya, Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Diponegoro, danGereja Pantekosta Pusat di Jalan Arjuna (Kompas.com) adalah salah satu contoh penyelewengan dari ajaran agama Islam. Islam mengajarkan bagaimana cara kita menghargai hidup manusia hingga kami teringat sebuah hadist Rasulullah SAW yang di cantumkan di kitab fatul mu’inkarya Ibnu Hajar tentang membela darah seseorang merupakan tindakan yang utama hingga di beri gelar syahid jika seorang itu gugur ketika membelanya.

    مَنْ قٌتِلَ دُونَ دَمِهِ اَوْ ماَلِهِ اَو اَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ

    “Siapa orang yang dibunuh membela darahnya atau keluarganya atau hartanya maka ia termasuk orang-orang yang mati syahid”

    Dari perkataan Rasulullah tersebut kita bisa merenungi betapa tingginya Islam menempatkan orang-orang yang mati membela manusia lain seperti keluarga kita, membela tanah air kita. Ini sebagai satu contoh betapa tingginya Islam menghargai hidup manusia, dan menjunjung hidup damai dengan kebhineka-an. Kami menghimbau bahwa agama Islam tidak mengajarkan merampas hidup seseorang dengan cara memborbardir.

    Kalau saja kita mau menganalogikan ketika kita menanam satu buah pohon mangga yang kala itu tiba saat panen hingga terhitung 100 buah misalnya, namun sangat disayangkan ada 2, atau 3 buah itu yang buruk. Maka apakah adil jika kita sebut pohon mangga ini adalah pohon yang berbuah jelek padahal ada 97 buah mangga yang baik.

    tentu tidak logis untuk mengadili dengan melihat satu sisi saja. Itulah yang terjadi saat ini, dimana para teror bom itu mengumandangkan takbir maka dengan kasus itu mengecam Islam adalah seorang teroris. Ini sangat tidak adil dengan perbandingan yang demikian adanya. Islam adalah agama Rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam yang dibawa oleh seorang yang berbudi pekerti yang luhur, berjiwa luhur yang tinggi, misi beliau adalah menyempurnakan akhlak bagi pengikutnya. Terutama akhlak sesama manusia.